Dalam Hukum Humaniter Internasional mengenal pembedaan tetapi tidak secara spesifik antara jurnalis independen yang bekerja di zona perang dan koresponden perang.
Definisi Jurnalis menurut United Nations International Convention on the Protection of Journalists Engaged in Dangerous Missions in Areas of Armed Conflict adalah semua reporter, fotografer, koresponden, technical film dan asisten radio dan televisi yang membantu mereka dalam menjalankan aktivitas[1]. Jurnalis ini mendapatkan status sebagai sipil. Sebagai konsekuensi status ini maka ia tidak boleh dijadikan obyek serangan dan tidak mendapat status sebagai tawanan perang apabila tertangkap, kecuali jika ia kehilangan statusnya.
Dalam Konvensi Jenewa III, koresponden perang adalah “orang yang mengikuti angkatan bersenjata tanpa benar-benar menjadi anggota daripadanya”[2].
Sebagai koresponden perang yang bukan merupakan bagian dari angkatan bersenjata, mereka menikmati status sebagai warga dan oleh karena itu mereka mendapat manfaat dari perlindungan hukum padanya[3]
Sedangkan koresponden perang menurut Dictionnaire de droit International Public adalah mencakup setiap jurnalis yang “specialized journalist who is present, with the authorization and under the protection of the armed forces of a belligerent, on the theatre of operations and whose mission is to provide information on events relating to ongoing hostilitie”
Jurnalis yang walaupun dirinya terakreditasi untuk angkatan bersenjata sebagai koresponden perang, masih tetap harus mendapat perlindungan umum dan kekebalan terhadap bahaya yang timbul dari operasi militer. Mereka tidak akan menjadi objek serangan atau balas dendam karena status sipil mereka.
Selain itu, koresponden perang dapat mendapat status tahanan perang jika mereka jatuh ke tangan musuh, asalkan mereka telah diizinkan untuk mengikuti angkatan bersenjata. Mereka harus setiap waktu harus diperlakukan secara manusiawi. Setiap tindakan melanggar hukum atau kelalaian oleh pihak yang menahan yang dapat menyebabkan kematian atau secara serius membahayakan kesehatan tawanan perang dalam tahanan adalah dilarang dan akan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap Konvensi Jenewa.
Dalam praktek, sebaiknya koresponden perang menggunakan kartu identitas. Dengan menggunakan kartu identitas, maka akan mereka akan terlihat jelas berbeda dengan para pihak, selain itu akan memudahkan pihak musuh untuk mengenali mereka sebagai sipil. Pasal 79 Protokol Tambahan 1 1977 menyatakan jurnalis “independen” dalam konflik bersenjata dianggap sebagai warga sipil dengan semua perlindungan dan kekebalan yang diberikan oleh hukum humaniter internasional terhadap penduduk sipil. Oleh karena itu, mereka dilindungi terhadap efek permusuhan dan terhadap perilaku sewenang-wenang pada bagian dari pihak yang terlibat konflik ketika mereka ditangkap atau ditahan oleh itu.
Disinilah perbedaan antara “koresponden perang” (Article 4A (4) dari Konvensi Jenewa III) dan “jurnalis” (Article 79 dari Protokol Tambahan I 1977). Keduanya diakui sebagai warga sipil, tetapi hanya koresponden perang saja berhak atas status tawanan perang. Koresponden perang dalam hal ini secara resmi berwenang untuk meliput suatu angkatan bersenjata.
Dalam empat Konvensi Jenewa 1949 dan dua Protokol Tambahan tahun 1977, serta Resolusi Majelis Umum PBB dan Resolusi Dewan Keamanan 1265, 1674, dan 1738 ; jurnalis dianggap sebagai kelompok khusus dalam definisi “warga sipil” dan menikmati perlindungan yang diberikan oleh instrumen hukum internasional untuk warga sipil yang berada di daerah konflik bersenjata. Mereka tidak dapat menjadi objek serangan dan dapat memperoleh perlindungan total. Di samping ketentuan ekspresif di Hukum Jenewa, aturan dasar hukum dalam semua konflik bersenjata adalah ekspresi dari sebuah prinsip hukum umum juga[4].
Menurut Pasal 50 dari Protokol Tambahan 1 1977 dan Pasal 4 Konvensi Jenewa III, warga sipil didefinisikan sebagai those who do not engage in hostilities and are in the hands of a power of which they are not nationals. Hal ini menimbulkan pernyataan bahwa “dalam hal keraguan apakah orang adalah warga sipil, orang itu harus dianggap sebagai sipil”.
Secara umum, berdasarkan Pasal 79 Protokol Tambahan 1 1977, setiap jurnalis yang prakteknya atau profesinya di daerah konflik bersenjata harus diperlakukan dan dilindungi sebagai seorang sipil, yang bebas dari objek serangan. Ketentuan ini hanya deklarasi dan tidak menciptakan status baru.
Juga termasuk dalam kategori ini, jurnalis yang menemani dan terakreditasi untuk angkatan bersenjata dianggap koresponden perang dan mendapat hak-hak di bawah tawanan perang ketentuan jika mereka ditangkap oleh pasukan musuh. Hanya perang koresponden dapat ditangkap, karena warga sipil biasa (termasuk mereka yang juga koresponden non-perang) harus bebas dari penangkapan dan serangan menurut Konvensi Jenewa IV dan Protokol II Konvensi Jenewa
Semua jurnalis dapat menikmati perlindungan yang diberikan kepada warga sipil dalam konflik bersenjata (terlepas dari apakah mereka mampu memperoleh hak tambahan dan hak istimewa sebagai koresponden perang atau tawanan perang dalam kasus penangkapan). Saat ini, sebagian besar jurnalis melakukan profesinya di daerah konflik bersenjata yang profesional dan independen yang dikirim oleh organisasi non-pemerintah. Oleh karena itu, jurnalis kebanyakan hanya dilindungi oleh hukum internasional sebagai warga sipil tetapi tidak sebagai koresponden perang di daerah konflik bersenjata.
[1] Pasal 2(a) of the draft UN. International Convention on the Protection of Journalists Engaged in Dangerous Missions in Areas of Armed Conflict
[2] Pasal 4A(4) Konvensi Jenewa III
[3]Pasal 50 ayat (1) Protokol Tambahan 1 1977
[4] Hong Tang, “Protection of Journalists in Situations of Armed Conflict : Enhancing Legal Protection Under International Law” (Golden Gate University Dissertations, 2008). Hlm 44